24 Mei 2013

Demokrasi Yang (Tidak) Bebas

Bila berbicara tentang demokrasi, tentu nama mantan presiden Soeharto sulit untuk dilupakan. Orang yang menjadi presiden kedua Indonesia ini secara tidak langsung dapat dikatakan sebagai 'pencetus' paham demokrasi di Indonesia, dimana pada masanya rakyat bersatu untuk meruntuhkan tirani sang Presiden yang sudah bertakhta selama 32 tahun di negeri ini.


Namun sayangnya, demokrasi di Indonesia belum dapat dikatakan berjalan sebagaimana mestinya. Masih banyaknya tindakan korupsi di Indonesia ini,  bukan hanya korupsi terhadap aset negara berbentuk materi semata, namun korupsi negara dalam hal 'mental bangsa' juga semakin sering terjadi.

Bentuk korupsi materi seperti uang negara mungkin telah banyak diberitakan melalui berbagai media di Indonesia, tayangan mulai dari penangkapan sang koruptor hingga sampai dimasukkan kedalam bui mungkin sering kita jumpai di negara yang 'dianugerahi' sebagai negara paling korup di kawasan Asia-Pasifik ini.

Bila dibandingkan dengan era disaat Soeharto masih menjabat menjadi Presiden Indonesia, kebebasan dalam mengutarakan pendapat dan meliput 'keburukan' bangsa dapat dikatakan jauh lebih nyaman. Pada masa Soeharto, banyak media yang memberitakan 'hanya' kebaikan pemerintah semata-mata agar keluarga mereka dalam selamat dan hidup dengan damai.

Sekarang? Jangankan media massa maupun awak berita, penduduk Indonesia biasa pun dapat ramai-ramai meneriakkan suara mereka menuntut perubahan ke arah yang lebih baik. Apalagi presiden kita saat ini telah memiliki akun di jejaring sosial paling digandrungi se-Indonesia. Bukan pemandangan langka apabila banyak akun-akun rakyat yang menghujat. mengkritik atau hanya sekedar iseng 'berbicara' dengan pak presiden. Bayangkan apa yang akan terjadi apabila fenomena ini terjadi pada masa Orde Lama.

Akun twitter resmi presiden Indonesia saat ini ; Susilo Bambang Yudhoyono

Kembali ke masalah "demokrasi dan kebebasannya". Seiring dengan semakin 'mewabahnya' kata-kata demokrasi, maka penyelesaian masalah menggunakan sistem musyawarah dan debat demi tercapainya keputusan yang memuaskan semua pihak. Namun cara musyawarah ala 'demokrasi' ini tidak selalu menghasilkan keputusan yang positif.

Sebut saja rapat musyawarah ala petinggi negara ini, dimana kebanyakan diberitakan para wakil rakyat terlihat 'lebih tertarik' untuk tertidur di ruang rapat atau malah menggunakan gadget mereka untuk sekedar main game hingga berselancar di dunia maya. Padahal hal yang mereka rapatkan dapat berdampak bagi seluruh rakyat Indonesia. Mungkin hal-hal seperti ini yang membuat Indonesia susah maju menjadi negara maju, selalu stuck sebagai negara berkembang. Mungkin.

Selain di tingkat petinggi rakyat, dalam tingkat rakyat jelata pun kata 'demokrasi' dan 'musyawarah' seringkali diselewengkan. Sebut saja kasus pemukulan massa terhadap 'jabret' atau 'maling' kelas teri apabila ketahuan dalam usaha mereka. Terkadang pemukulan tersebut dapat membunuh si 'pendosa kecil' tersebut. Apabila si pelaku kejahatan kecil tersebut terbunuh, terkadang berita soal itu ataupun pengusutan siapa pembunuhnya sulit/jarang dilakukan. Karena terlalu banyak orang yang terlibat dan karena hal tersebut dipandang 'wajar' di negara kita.

Selain pengeroyokan massal yang sudah dianggap sebagai 'hukuman yang pantas' bagi para penjahat kelas pasar ini, ada tindakan penyelewengan lain yang biasa disebut sebagai 'pengadilan rakyat'. Pengadilan rakyat biasa terlihat dalam sebuah kawasan yang dikuasai oleh sebuah kelompok, biasanya meski ada hukum negara, namun hukum negara seakan kalah di kawasan kekuasaan kelompok tersebut.


Kuatnya hukum yang diterapkan kelompok ini karena mereka memang memiliki jumlah massa yang cukup besar hingga berani mengintimidasi pihak lainnya, atau penduduk lainnya yang berada disana takut dan tidak berani melawan hingga membuat para 'hakim rakyat' tersebut dapat seenaknya bertindak dan menentukan hukum, bahkan seseorang itu bersalah atau tidak.

Jaman Orde Lama pimpinan bapak Soeharto memang telah lama runtuh, rakyat Indonesia juga memang telah cukup lama hidup di masa dimana mereka bebas menyampaikan pendapat. Namun apakah tepat apabila ada beberapa oknum yang menekan kebebasan orang lain semata-mata karena dirinya menganggap kebebasannya lebih kuat, atau lebih pantas dibandingkan orang lain?

Sebut saja tindakan premanisme atau kebebasan menggunakan harta negara demi kepentingan pribadi. Melakukan tindakan intimidasi terhadap pihak yang lebih lemah atau 'main belakang' dengan oknum aparat agar diri sendiri/kelompok dapat bersenang-senang diatas penderitaan orang lain. Bukankah tindakan tersebut tidak mencerminkan kebebasan untuk seluruh warga Indonesia? Atau kebebasan hanya untuk orang-orang yang bisa membatasi kebebasan orang lain?

Nineteen Eighty-Four



Sumber :

Sumber Gambar :

8 komentar:

  1. Mantap gan http://windowsblue-free.blogspot.com/

    BalasHapus
  2. ada yang bilang, bahwa demokrasi di indonesia merupakan demokrasi yang kebablasan. artinya bangsa ini masih mengalami perkembangan dan butuh keyakinan bersama bahawa bangsa kita mampu mengimani demokrasi untuk lebih baik. :D salam kenal ndan.

    BalasHapus
  3. Negara kita itu prematur gagal, prosesnya ga berkembang dengan baik dan terkesan lompat-lompatan. Terlebih lagi di negara ini terlalu banyak orang-orang egois yang serasa hidup di dunia sendiri, wajar lah korup ga ada abis-abisnya. Yang kaya makin kaya, yang miskin kelewat miskin.

    Sedihnya, Pancasila yang udah 67 tahun diterapkan masih jadi cita-cita. Seandainya gue hidup abadi, gue bakal nyatain cita-cita negara ini yang cuma bisa jadi dekorasi ruang rapat atau kelas. Karena gue tau, mewujudkan negara makmur ga bisa prematur.

    BalasHapus
  4. Gue sendiri sih lebih suka kalau nanti ada capres yang berjiwa Ir. Soekarno bro hehe

    BalasHapus
  5. pemerintahan presiden soeharto itu kalo bisa dibilang kadang jauuuuuh lebih baik dari pemerintah menye sekarang ini. swasembada beras, pembangunan disana sini, cuma ada di masa presiden soeharto. sekarang apa ? ngomongin negara udah hopeless duluan rasanya..

    BalasHapus
  6. Berbicara tentang demokrasi, mungkin tidak akan ada habisnya. Lebih baik ambil segi positifnya dan meminimalisasi keburukan yang terjadi.

    ZaenuriAchmad.com

    BalasHapus
  7. jabret? bukannya jambret disebutnya atau memang kita beda wilayah jadi beda penyebutan.

    banyak zaman sekarang yang mengkritik tentang demokrasi dan lainnya, ga akan ada habisnya. Menurut gua kenapa orang yang sering mengkritik itu jadi pejabat negara aja supaya benerin negara sesuai apa yang dikritik melulu.

    Bersyukur deh sekarang mah mengeluarkan pendapat sudah mulai terasa bebas

    BalasHapus
  8. Jujur gue lebih suka karakter seperti soeharto yang tegas. dan nyatanya dia termasuk sepulu presiden tertakuti di dunia. Tanyakan pada tukang becak yang udah berpuluh-puluh tahun bekerja seperti itu, mereka lebih suka pemerintah seperti soeharto.

    BalasHapus

Dapat berkomentar menggunakan G+ namun mohon maaf tidak memperbolehkan akun anonim.

Sangat terbuka dengan segala macam komentar, apalagi yang bisa membangun untuk kemajuan blog ini.

Tidak disarankan untuk melakukan copas (copy-paste) terhadap segala tulisan di blog ini karena sewaktu-waktu dapat dilaporkan kepada DMCA Google yang menyebabkan blog si plagiat dapat dihapus dalam kondisi terparah.

Akhir kata, terima kasih sudah berkomentar ^^v

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...