27 April 2017

Juventus dan Sepakbola Negatif


Sepakbola pada dasarnya penuh akan bias, hal ini bisa dipengaruhi oleh klub mana yang menjadi favorit individu tertentu, gaya bermain seperti apa yang ia gemari hingga lengkap-tidaknya pengetahuan mereka tentang sepakbola maupun sebuah klub -baik klub yang mereka dukung maupun lawan saat itu. Dan apabila klub favorit mereka dijungkalnya tim yang mereka anggap remeh, maka tidak terlalu mengherankan beberapa komentar buruk akan disematkan kepada lawan mereka tersebut.

Juventus merasakannya di ajang Liga Champions musim ini. Juventus bisa dibilang sebagai salah satu raksasa Italia, namun hal tersebut belum tentu berlaku bagi media maupun fans luar Italia --atau Serie-A--. Belum lagi kasus Calciopoli yang menimpa klub ini pada tahun 2006 seakan membuat fans klub lain berpikiran bahwa Juventus tidaklah sehebat itu, sampai akhirnya Barcelona harus tersingkir tanpa sanggup menembus gawang Gianluigi Buffon di babak quater-final Liga Champions musim ini.


Bila kita membandingkan kekuatan Juventus dengan Barcelona menurut anggapan umum di media sosial, maka sekilas Juventus bukan apa-apa dihadapan Blaugrana. Juventus tidak memiliki pemain yang dalam beberapa tahun terakhir mengisi daftar pemain terbaik maupun tim terbaik Eropa. Dani Alves sekarang berseragam hitam-putih Turin, namun kepergiannya di usia 33 tahun seakan menyiratkan karir pemain Brazil tersebut telah habis.

Juventus memang memiliki Gianluigi Buffon dibawah mistar, tapi mungkin nama Superman masih terasa asing bila dibandingkan dengan kiper lainnya semisal Manuel Neuer atau David De Gea, bahkan kiper muda Atletico; Jan Oblak. Nama outfield player Juventus juga tidak terlalu bagus secara publikasi, bahkan Gonzalo Higuain dikenal sebagai sosok yang kerap gagal perform pada laga-laga krusial, menjadikan banyak pihak berpikiran akan sangat wajar apabila Juventus nantinya cuma menjadi penggembira di Liga Champions.

Kegagalan Juventus mempertahankan pemain bintang (yang gampang dikenal orang awam) mereka seperti Arturo Vidal, Alvaro Morata maupun Paul Pogba juga semakin menguatkan anggapan bahwa Juventus adalah klub pengembang bakat muda, bukan klub tujuan para pemain bintang. Juventus juga terkenal jarang memperlihatkan kekuatan finansial mereka dalam bursa transfer, pengecualian pada awal musim ini dimana mereka memecahkan rekor transfer klub dan Serie-A saat mendatangkan Gonzalo Higuain dari Napoli.


Kondisi Serie-A yang dianggap kurang kompetitif dibanding liga lain juga menjadi salah satu alasan Juventus dipandang sebelah mata di Eropa. Dominasi liga scudetto beruntun La Vecchia Signora dianggap lebih karena klub lain di Italia tidak memiliki skuat yang cukup untuk bersaing dengan Juventus, bukan karena Juventus tersebut adalah klub yang kuat.

Faktor lain adalah karena Juventus bermain dengan sistem pressing tinggi yang kerap diasumsikan banyak pihak sebagai sepakbola negatif, atau sebagaimana yang dipopulerkan Chelsea-nya Jose Mourinho (dan media Inggris); parking the bus.

Pola pressing tinggi ini sebenarnya sudah digunakan Juventus pada era Antonio Conte, bahkan pada final Liga Champions 2015 melawan Barcelona pola ini juga digunakan. Hanya saja saat itu Juventus tidak turun dengan formasi terbaiknya akibat cidera yang dialami Chiellini. Barcelona masih memiliki pemain yang (menurut saya) merupakan kunci terpenting dari permainan tiki-taka; Xavi Hernandez, yang menjadikan Blaugrana berhasil menundukkan Juventus dengan skor 3-1.


Meski sama-sama merupakan pola yang berfungsi ketika bola berada di kaki lawan, namun (menurut saya) ada perbedaan mendasar dari pola high pressing Juventus dengan parking the bus Chelsea. Bila parking the bus terkesan menumpuk pemain di lini pertahanan sendiri dan bertumpu pada satu complete striker, maka high pressing Juventus adalah skema untuk mematikan pergerakan dan meminimalisir opsi passing yang tersedia untuk kemudian melakukan counter saat merebut bola dengan empat pemain ofensif.

Bila sekedar melihat jumlah pemain yang diberikan tanggung jawab dalam menyerang, maka skema Juventus ini terlihat lebih ofensif ketimbang pola parking the bus. Dimana peran satu complete striker yang bertugas 'menghukum' lawan saat mereka terlalu nafsu menyerang berbanding counter berbasis direct football yang dijalankan empat striker, dimana dua dari mereka memiliki kecepatan yang berbahaya saat situasi counter attack (Dybala dan Cuadrado).

Dybala & Cuadrado
Skema 4-2-3-1 Juventus yang berubah menjadi 4-4-2 saat bertahan dan bisa menjadi 4-2-4 saat menyerang ini sedikit-banyak mirip dengan skuat milik Sir Alex Ferguson. Skema Ferguson juga tidak memiliki pemain yang didewakan, bahkan seorang Cristiano Ronaldo pada saat berseragam MU bisa dibilang belum menjadi pemain matang, baru mencapai level a star in the making, layaknya Paulo Dybala saat ini bersama Juventus.

Manchester United dibawah Sir Alex Ferguson juga bisa dibilang tidak memiliki pakem formasi tetap, manager legendaris MU tersebut kerap mengubah formasi yang digunakan tidak hanya saat laga dimulai, namun juga pada saat laga berlangsung. Perubahan skema dalam pertandingan ini juga menjadi dasar pola high pressing Juventus saat ini bisa dibilang mirip dengan skema milik Sir Alex meski saat ini belum sampai se-fleksibel MU dibawah Sir Alex.


Persamaan lainnya adalah kedua skema ini membutuhkan pemain penyeimbang yang kerap luput dari perhatian media, karena perannya 'hanya' sebagai penyeimbang tim. Bila skuat Sir Alex Ferguson sosok unsung hero ini dapat dilihat pada diri Park Ji Sung atau Michael Carrick, skuat Juventus saat ini mengedepankan Miralem Pjanic dan Claudio Marchisio sebagai figur 'dibalik layar'.

Sayangnya, meskipun peran pemain tersebut termasuk krusial, namun kerap alpa diberitakan media karena tidak 'menjual' dan tidak mudah untuk terlihat. Menjadikan skema high pressing Juventus kerap diasosiasikan dengan sepakbola negatif.

Selain itu faktor pemain bertahan Juventus yang lebih 'menjual' ketimbang pemain menyerang mereka menjadi faktor lain skema high pressing ini kerap dianggap sepakbola negatif. Namun menyebut Juventus 'harus' bermain menyerang disaat mereka memiliki pemain bertahan yang baik bisa dibilang sebagai buta taktikal. Adalah wajar --apabila bukan keharusan-- menggunakan potensi terbaik pemain yang dimiliki ketimbang meladeni lawan yang jelas-jelas lebih unggul dalam permainan mereka sendiri.

Menggunakan skema menyerang melawan Barcelona tentu akan mendapat apresiasi dari fans netral, namun disaat pemain yang tersedia jelas-jelas kalah dari Barcelona dari sisi daya serang dan memaksakan bermain menyerang demi menyenangkan penonton adalah sebuah kesalahan bila melihat dari sisi kompetisi, karena tujuan utama berkompetisi adalah menjadi juara, bukan menyenangkan penonton yang hanya mencari hiburan.

"Football is very simple, you have attacking and defending. You need both and there’s no shame in being good at defending, in fact it’s just as beautiful as a great attacking move."


 "I am happy for those who have spectacular football, but if I want a spectacle then I’ll go to the circus. I want three points. I have talented players, but that’s not enough, as some games are rough, others are more physical, there are some matches within a match."


"I am not annoyed by these comments, if anything they make me smile. There are some games where you have 35 per cent possession and create seven or eight scoring opportunities. Some games you have 70 per cent possession and have three shots on target. So which is better?
-- Massimiliano Allegri


Sebelum laga menghadapi Barcelona, Allegri pernah berkata kepada media bahwa "bila saya menginginkan hiburan maka saya akan pergi ke sirkus", hal ini menyatakan bahwa Allegri lebih memfokuskan "bagaimana cara untuk memenangkan pertandingan" ketimbang "bagaimana tampil menghibur dalam sebuah pertandingan".

Seperti yang saya tuliskan diawal, sepakbola itu penuh dengan bias. Pasti ada seseorang yang merupakan penggemar sepakbola menyerang seperti tiki-taka merasa 'terpukul' apabila kalah dari tim yang gaya bermainnya ia anggap sebagai skema yang lebih lemah ketimbang pola menyerang yang ia agungkan. Namun diluar sana juga pasti ada orang yang lebih senang melihat dua tim yang beradu taktik ketimbang 'asal' jual-beli serangan layaknya seperti saat bermain gim PES.

Laga Italia melawan Jerman pada gelaran EURO 2016 lalu mungkin menjadi 'surga' bagi mereka yang menggemari pertarungan taktik namun bisa terlihat membosankan bagi mereka yang menyukai jual-beli serangan (karena skor akhirnya adalah 1-1).


Bagi saya pribadi, skema high pressing yang diusung Juventus saat ini dapat dibilang pola ofensif. Namun tidak ofensif 'baku' seperti yang banyak yang dianggap orang kebanyakan. Pola ofensif Juventus bukanlah pola dimana sebuah tim akan mengendalikan pertandingan dengan cara mendistribusikan bola diantara pemain mereka, pola ofensif Juventus adalah pola yang memaksa tim lawan untuk memainkan bola ke arah yang Juventus inginkan.

Seperti pada leg pertama melawan Barcelona dimana pemain Juventus melakukan pressing ketat ke semua permain Barca kecuali Mathieu yang pada malam itu memang bermain buruk. Ditambah kesalahan-kesalahan saat pemain Barca tertekan karena semua jalur passing yang mereka inginkan telah tertutup, empat pemain menyerang Juventus telah siap untuk melancarkan serangan saat bola berhasil mereka rebut.

Sekali lagi, kemungkinan karena banyak yang merupakan fans sepakbola menyerang (apalagi ikon sepakbola era ini --dan kebanyakan-- merupakan pemain menyerang), ketidaktahuan akan kekuatan Juventus serta taktik high pressing dan (mungkin) ketidakmampuan untuk menerima hasil secara objektif membuat banyak pihak menyebut sepakbola yang dibawakan Juventus adalah sepakbola negatif.

Again, sepakbola negatif macam apa yang menggunakan empat pemain bertipe menyerang dan tidak adanya gelandang yang lebih dikenal karena kemampuan mereka bertahan (alias gelandang tipe penyeimbang maupun gelandang dengan visi menyerang)?

Berbicara soal sepakbola bertahan, Liga Premier Inggris pun tampaknya akan dikuasai kembali oleh 'sepakbola negatif'. Bila musim lalu Leicester City berhasil menjadi kampiun dengan pola counter attack (yang tidak disebut sepakbola negatif karena mereka adalah tim underdog dan sinar Vardy-Mahrez lebih terang ketimbang pemain lainnya), maka musim ini Chelsea (yang sebenarnya bisa disebut sepakbola negatif namun tidak karena pemain paling bersinar mereka adalah Eden Hazard) bersama Antonio Conte hampir pasti menjuarai Liga Inggris.

Berapa banyak orang diluar sana yang beranggapan skema counter attack yang sukses mengantarkan Leicester City menjuarai Liga Inggris musim lalu sebagai 'sepakbola negatif'?


Tentu saja kita tidak bisa menyebutkan satu skema adalah skema terbaik yang dapat digunakan untuk mengalahkan skema lainnya, karena sepakbola bukanlah matematika. Namun setidaknya skema high pressing Juventus terbukti sukses meredam ketajaman tiki-taka milik Barcelona musim ini. Namun bagi mereka yang sudah terlanjur men'dewa'kan sepakbola menyerang dimana hampir seluruh ball possesion ada di klub yang mereka dukung, rasanya sampai kapanpun skema yang lebih mengedepankan pertahanan akan dianggap sebagai 'sepakbola negatif', karena mereka akan berpikiran bahwa tidak ada pola yang lebih bagus ketimbang pola yang klub favorit mereka anut saat ini (atau saat mereka pertama kali menjadi fans klub tersebut).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dapat berkomentar menggunakan G+ namun mohon maaf tidak memperbolehkan akun anonim.

Sangat terbuka dengan segala macam komentar, apalagi yang bisa membangun untuk kemajuan blog ini.

Tidak disarankan untuk melakukan copas (copy-paste) terhadap segala tulisan di blog ini karena sewaktu-waktu dapat dilaporkan kepada DMCA Google yang menyebabkan blog si plagiat dapat dihapus dalam kondisi terparah.

Akhir kata, terima kasih sudah berkomentar ^^v

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...