Anime : Naruto |
Beberapa tahun yang lalu negara kita ; Indonesia menetapkan UU anti pornografi dan pornoaksi, hal itu ditujukan untuk melindungi moral bangsa yang kala itu ramai terjadi kasus asusila. Dampak dari disahkannya UU ini diantara lain ialah semakin 'beringas' lembaga sensor film dalam menyensor tayangan yang muncul di layar kaca. Selain dari penyensoran beberapa adegan dalam suatu film, cara lain yang dilakukan oleh beberapa stasiun televisi untuk menjaga tontonan ala Hollywood dari generasi muda bangsa ialah dengan menetapkan jam tayang yang tidak cocok bagi generasi muda, khususnya anak-anak.
Namun ternyata akhir-akhir ini bukan hanya adegan 'panas' dalam film-film Hollywood yang disensor, tayangan anime juga menjadi 'korban' terbaru dari kegiatan penyensoran ini. Adegan-adegan bertarung dalam beberapa anime yang ditayangkan seperti Naruto juga harus disensor dengan alasan menjaga moral bangsa. Alasan dari penyensoran ini ialah karena banyaknya generasi muda bangsa yang (katanya) meniru adegan bertarung dalam tayangan anime tersebut hingga memicu terjadinya perkelahian.
Sebenarnya lembaga sensor sudah melakukan beberapa cara untuk menghindari anak kecil yang kondisi mentalnya masih tidak stabil dari menonton tayangan seperti itu, diantara lain dengan menetapkan waktu tayang yang termasuk malam bagi mereka dan menentukan rating dari acara tersebut, semisal Dewasa, Remaja dan Anak-Anak, hal ini dimaksudkan agar para orang tua dapat memilah-milah tayangan mana yang cocok untuk dikonsumsi buah hatinya.
Namun selalu saja ada kendala yang membuat para anak bangsa ini dapat melihat tayangan-tayangan tersebut, selain dari faktor kelalaian orang tua dalam mengawasi dan membimbing mereka, para anak-anak zaman sekarang sudah sangat sadar dengan kemajuan tekhnologi dan membuat mereka bisa mengakses informasi tentang tayangan-tayangan tersebut tanpa diketahui orang tua mereka.
Namun perlukah lembaga sensor tetap menunjukkan tayangan yang jelas-jelas bisa merusak moral anak bangsa ini ? Meskipun sudah melalui serangkaian metode penyensoran, namun cara penyensoran di negara ini terasa kurang cakap. Hal ini dibuktikan dengan cara penyensoran pada beberapa adegan yang malah membuat penontonnya kebingungan dalam mencerna inti cerita. Belum lagi para dubber (pengisi suara) di negara ini terasa kurang 'emosional' dalam memerankan karakter mereka, para dubbeurr negara ini terasa lebih mementingkan arti dari percakapan tanpa memperhatikan faktor emosional yang ingin ditampilkan oleh tayangan aslinya, hal yang berbeda dengan para seiyuu (dubber Jepang) yang rela berteriak-teriak secara emosional agar karakter yang mereka perankan terasa 'hidup'. Hal tersebut juga menimbulkan dorongan bagi mereka yang penasaran untuk melihat tayangan aslinya, yang tentu tanpa sensor.
Namun biasanya hanya para movie freak yang rela sampai mencari-cari DVD maupun mengunduh selama berjam-jam (khususnya film berseri) untuk melihat cerita dan mengerti makna film tersebut secara keseluruhan. Hampir tidak mungkin (bahkan sangat jarang) anak-anak kecil yang hanya menginginkan hiburan untuk mencari film-film tersebut secara khusus.
kesimpulan :
Penyensoran beberapa adegan dalam tayangan televisi dimaksudkan semata untuk menjaga generasi muda bangsa dari hal-hal yang berbau pornografi/pornoaksi serta tindakan vandalisme dan perkelahian. Meski terdapat perbedaan dalam penafsiran akan batasan umur di negara pengimpor dan negara pengekspor soal masalah umur dan kestabilan mental, lembaga sensor sebenarnya hanya ingin yang terbaik bagi penonton dari negaranya sendiri, hal ini disebabkan karena beragamnya kondisi mental orang yang melihat tontonan tersebut. Meski terkadang tayangan anime yang ada di negara Jepang dikategorikan remaja atau bahkan dewasa di negara Jepang malah dikategorikan anak-anak di negara kita.
kesimpulan :
Penyensoran beberapa adegan dalam tayangan televisi dimaksudkan semata untuk menjaga generasi muda bangsa dari hal-hal yang berbau pornografi/pornoaksi serta tindakan vandalisme dan perkelahian. Meski terdapat perbedaan dalam penafsiran akan batasan umur di negara pengimpor dan negara pengekspor soal masalah umur dan kestabilan mental, lembaga sensor sebenarnya hanya ingin yang terbaik bagi penonton dari negaranya sendiri, hal ini disebabkan karena beragamnya kondisi mental orang yang melihat tontonan tersebut. Meski terkadang tayangan anime yang ada di negara Jepang dikategorikan remaja atau bahkan dewasa di negara Jepang malah dikategorikan anak-anak di negara kita.
nice posting..bermanfaat nih opininya.
BalasHapustapi menurut ku klo anime seperti naruto tak apalah tak di sensor. klo seperti love hina baru boleh :)
Tidak ada komentar. Setuju :D
BalasHapusSetuju banget dengan kesimpulannya :)
BalasHapusRasanya gua udah pernah ngomong gini di grup KK, tapi gpp lah. Mau tau ga rahasianya kenapa di Jepang, Amrik, dan di berbagai negara bagian dunia, film2 yg berbau kekerasan dan sedikit mengandung unsur seksual (adegan ciuman misalnya) bisa bebas tayang tanpa kemudian merusak moral bangsanya?
BalasHapusKarena orang tua di negara2 tersebut, bukannya melarang anaknya untuk nonton, tapi mendampingi dan memberikan anak2nya pengertian. Sehingga anak sudha bisa memilah sendiri, mana yg baik, mana yg buruk. Ga usah pake sensor2 aneh ala Indonesia.
Sampe kapan mental kita tuh mau seperti ini? Kemajuan teknologi tuh ga bisa dibendung dan anak semakin bebas mengakses informasi lewat berbagai media. Terus apa yg akan kita lakukan? Mau sensor semuanya? Mana bisa?
It's time to change, people...
Hadeuhhh iya sihh,tpi kebanyakan anak dri negara itu mulai mengerti dan sangat paham sehingga adegan ciuman atau apalah yg berbau negatif mulai di tiru tanpa sepengetahuan ortu hhhhhhh ,naas,makin lama ni dunia makin berantakan
Hapussetuju sama kesimpulan nya:D
BalasHapuskadang lembaga sensor terlalu berlebihan ngesensornya u,u
shrusnya tdk ada lgi sstem sensor jika film yg dbuat tdk mngndung unsur SARA dan pornografi.. jgn lupa mampir ke eMingko Blog
BalasHapusSetuju.
BalasHapustapi kalau Naruto nggappalah..
kalau ngga di sensor... hehehe:D